Jumat, 03 Februari 2012

CIUMAN JUDAS


CIUMAN JUDAS 



Kedudukan, pangkat-pangkat serta tingkah laku yang dipamerkan oleh Mirza Ghulam Ahmad, putera dan cucunya maupun oleh pengikut-pengikutnya yang tiada tolok-bandingannya, pada hakikatnya hanyalah merupakan perisai atau selubung dari kelemahan, kepalsuan yang terdapat didalam diri Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya. Demikianlah satu kelemahan harus dilindungi banyak kekuatan, barulah persembunyian itu berhasil lolos dari setiap pencaharian. Akan tetapi satu keanehan telah terjadi, bahwa kekuatan-kekuatan yang dipamerkan Ahmadiyah itu, ternyata menjadi boomerang memukul balik pada dirinya sendiri.

Kekuatan-kekuatan dalil yang dipakai tentang kemahdian Mirza Ghulam Ahmad, kealmasihannya, kenabian dan kerasulannya akhirnya menjadi satu bahan yang menarik untuk dibicarakan. Justru pada posisi-posisi Mirza Ghulam yang berat itulah, ia dan alirannya menutup semua kemungkinan bagi lolosnya suatu penelitian terhadap dirinya. Kubu-kubu pertahanan yang dibangun Mirza dan Ahmadiyahnya dalam masalah ke-mahdian kealmasihan, kenabian maupun kerasulannya, merupakan kubu-kubu yang ampuh untuk diterobos.

Akan tetapi, sebagaimana dikatakan tadi, satu keanehan telah terjadi; justru daripada pertahanan yang tertutup rapat itu, secara tidak sengaja pintu-pintu rahasia dari kubu-kubu pertahanan Ahmadiyah, terbuka lebar dan mereka sendirilah yang membukanya. Bahkan boleh dikata ibarat tubuh bertelanjang bulat di hadapan cermin seiarah, Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya telah mempertontonkan segala jenis kemunafikannya yang paling samara sekalipun. Padahal Ahmadiyah pada zhahirnya menyuguhkan ajaran-ajarannya ke tengan-tengah masyarakat diluar Jemaatnya, dengan segala macam kalimat-kalimat puji dan puja kepada Allah dan Nabi Muhammad s.a.w.

Penjelasan-penjelasan yang menarik yang disajikan Mirza dan Ahmadiyahnya tentang sebab-sebabnya mengapa ia harus menjadi nabi, rasul dan sebagainya itu, menurut Ahmadiyah sama sekali tidak mengandung maksud untuk mengecilkan kedudukan Nabi Muhammad s.a.w Mirza Ghulam Ahmad, kata Ahmadiyah, tidak lain hanyalah khadim nabi Muhammad, melanjutkan serta menerangkan ajaran-ajaran tuannya.2 Bahkan Mirza Ghulam adalah orang pertama yang jatuh cinta pada Nabi Muhammad.
Dalam syairnya Mirza Ghulam berkata:

“Lihatlah kepadaku dengan pandangan rahmat dan kasih wahai penghuluku aku adalah seorang sahayamu yang paling hina dina. wahai kekasihku, cinta kepadamu sudah amal meresap dalam jiwa ragaku, ke dalam jantungku dan benakku wahai taman firdaus dari seluruh kegembiraanku! Alam pikiranku tidak pernah sunyi sesaat atau sedetikpun dari mengenang engkau. Jiwaku sudah menjadi milikmu. Jisimkupun bercita-cita benar ingin terbang ke hadiratmu. alangkah bahagianya bila dalam diriku ada daya untuk terbang.”3

Dalam syairnya yang lain, Mirza Ghulam berkata lagi:

“Sesudah asyik kepada Allah, akupun mabuk pula pada keasyikan terhadap Muhammad. Kalau ini dikatakan kufur, maka demi Tuhan akulah orang yang sangat kafir!”4

Bahkan dari keasyikan Mirza Ghulam kepada Nabi Muhammad, menurut Ahmadiyah, ia telah fana fir-rasul yakni pada dirinya membayang wujud yang mulya Rasulullah s.a.w.5 Malahan bila diperhatikan benar-benar, Mirza Ghulam adalah kenabian Muhamadiyan juga, yang zhahir dalam suatu cara yang baru. Ibarat melihat cermin, demikian Ahmadiyah melanjutkan, kamu tidak menjadi dua, bahkan kamu tetap satu juga adanya, kendatipun nampaknya dua.6 Salah seorang pengikut Mirza yang setia menceritakan bahwa ia pernah melihat dalam mimpi, wujud suci Hadrat Rasulullah Muhammad Mustafa s.a.w adalah juga merupakan wujud suci Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Ma’uud a.s. Aku tidak ingat, demikian sahibul mimpi melanjutkan, apakah lebih dahulu melihat Mirza sahib Mirza Ghulam Ahmad atau melihat wujud suci nabi Muhammad s.a.w. Tetapi yang jelas ialah kedua wujud suci itu telah diperlihatkan dalam keadaan hanya merupakan satu wujud suci.

Hal ini mengandung arti, bahwa pada masa kini, pantulan dan kazhahiran yang sempurna dari wujud suci nabi Muhammad adalah wujud Mirza Ghulam Ahmad.7

Apakah yang demikian itu, tidak suatu penghormatan pada nabi Muhammad oleh Mirza Ghulam?! Maka, terimalah nabi yang datang dari Allah ini, demikian seru seorang Ahmadiyah.8 Akan tetapi dilain kesempatan dating ancaman keras dari Ahmadiyah pada mereka yang tidak mau percaya pada kenabian Mirza, dengan kata-kata lantang:

“bahwa semua orang Islam harus percaya pada nabi Mirza Ghulam Ahmad; kalau tidak, berarti mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dan siapa-siapa yang tidak mengikuli Al-Qur’an maka ia bukan muslim. Dan barangsiapa mengingkari seorang nabi, menurut istilah agama Islam disebut kafir!”9

Demikian Ahmadiyah, mula-mula mereka memuji-memuji Nabi Muhammad, kemudian minta agar ia diakui sebagai nabi, akhirnya ia mengancam vonnis kafir bagi siapa-siapa yang tidak mau percaya kenabiannya. Jelas disini adanya watak-watak munafik pada diri Mirza Ghulam maupun pengikut-pengikutnya.

Namun demikian apakah benar kaum Muslimin tidak mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur’an bila tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi? Untuk menjawab soal diatas sebaiknya kita lebih jauh melihat ajaran-ajaran Ahmadiyah tentang sebab-sebabnya mengapa Mirza Ghulam memakai gelar nabi.

Dalil-dalil yang dipakai Ahmadiyah guna menguatkan landasan bagi tegaknya kenabian maupun kerasulan Mirza Ghulam, ialah dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits. Tentu saja menurut penafsiran cara-cara mereka sendiri. Mula-mula dalil yang dipakai, berkisar pada ayat “khataman nabiyin” dalam surah Al-Ahzab ayat 40. Kata khatam disitu menurut Ahmadiyah bukan berarti “penutup” melainkan termulya. Jadi nabi Muhammad adalah nabi yang “termulya,” bukan nabi penutup. Oleh karena itu pengertian yang diberikan oleh sebagian orang-orang Islam terhadap kata khatam dengan pengertian pintu wahyu tertutup, bertentangan dengan kandungan Al-Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah s.a.w.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar